Shalat Tahiyyatul Masjid

Edisi 03 Th. I

www.majalahalumm.com | Para pembaca yang budiman, pada edisi lalu telah kita membahas salah satu shalat dzawatul asbab, yaitu shalat sunnah 2 rakaat selepas wudhu`. Maka pada edisi kali ini, akan kita kupas secara ringkas shalat dzawatul asbab yang lain, yaitu shalat tahiyyatul masjid. Pembahasan ini mencakup beberapa permasalahan sebagai berikut:

Hukumnya
Para ‘ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat tahiyyatul masjid. Ada yang mengatakan wajib, dan ada yang mengatakan sebagai sunnah muakkadah. Di antara hadits-hadits yang menunjukkan akan kewajibannya adalah:
Dari Abu Qatadah As-Sulamiy , bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ»

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaknya dia ruku’ (shalat) dua rakaat sebelum dia duduk.” [1]
Dan di dalam sebuah riwayat,
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ»

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka jangan duduk hingga dia shalat dua rakaat.” [2]
Dan berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah , dia berkata,
كَانَ لِي عَلَى النَّبِيِّ  دَيْنٌ، فَقَضَانِي وَزَادَنِي، وَدَخَلْتُ عَلَيْهِ الْمَسْجِدَ، فَقَالَ لِي: «صَلِّ رَكْعَتَيْنِ»

“Adalah aku mempunyai piutang atas Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, lalu beliau membayarkannya kepadaku, dan menambahkannya. Lalu saya masuk menemui beliau di masjid, lalu beliau bersabda: Shalatlah dua rakaat.”[3]
Hadits-hadits di atas memberikan faidah perintah nabi untuk melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk, dan hukum asal perintah adalah untuk sebuah kewajiban. Juga memberikan faidah larangan duduk sebelum shalat dua rakaat, dan hukum asal larangan adalah haram.
Juga hadits dari Jabir , dia berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ  يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: «يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا» ثُمَّ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا»

“Sulaik al-Ghathafaniy datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- tengah berkhutbah, lalu dia pun duduk. Maka Nabi  bersabda kepadanya, ‘Wahai Sulaik, berdirilah, lalu ruku’lah (shalatlah) dua rakaat, dan ringankanlah keduanya.’ Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sementara imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia ruku’ (shalat) dua rakaat, dan hendaknya dia meringankan pada keduanya.” [4]
Hadits di atas memberikan faidah diperintahkannya seseorang untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid pada saat khatib berkhutbah menunjukkan kewajiban shalat tahiyyatul masjid, karena tidak bisa mengalahkan sesuatu yang wajib (mendengarkan khutbah jum’at) melainkan sesuatu yang wajib pula. Wallahu a’lam.
Sementara jumhur ‘ulama berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah, berdasarkan hadits:
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah , dia berkata, “Datang seorang laki-laki dari penduduk Najed kepada Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dalam keadaan rambut kepala yang acak-acakan, dan kami mendengar suara kerasnya, dan kami tidak bisa memahami apa yang dia ucapkan, hingga dia mendekat kepada Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam-. Ternyata kemudian dia bertanya tentang Islam. Maka Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- menjawab:
«خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ، وَاللَّيْلَةِ» فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ…»

“Shalat lima waktu sehari semalam.” Lalu dia bertanya, ‘Apakah ada kewajiban lain atas saya selain (shalat lima waktu) itu?’ Maka beliau  menjawab, “Tidak, kecuali kamu ingin bertathawwu’ (melakukan yang sunnah)…” [5]
Dan di dalam riwayat yang lain:
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ: «الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا»

“Maka laki-laki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritakanlah kepada saya, shalat apa yang Allah wajibkan atas saya?’ Maka beliau  menjawab, “Shalat lima waktu, kecuali engkau ingin bertathawwu’ (melakukan yang sunnah) dengan sesuatu (shalat yang lain).”[6]
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada shalat wajib lain, selain shalat lima waktu. Dan tahiyyatul masjid termasuk di antara yang tidak wajib. Wallahu a’lam.
Imam Nawawi  berkata, “Di dalamnya terdapat (hukum) kesunnahan tahiyyatul masjid dengan dua rakaat, dan itu adalah sunnah dengan ijma’nya kaum muslimin. Dan di dalamnya terdapat kesunnahan pelaksanaan tahiyyah pada waktu kapan saja dia masuk (masjid).”[7]
Dan Imam Muslim menempatkan hadits No. 714 dalam bab disunnahkannya tahiyyatul masjid dua rakaat, dan dimakruhkannya duduk sebelum shalat dua rakaat, dan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu disyariatkan dalam seluruh waktu. Sementara hadits no. 715, beliau tempatkan dalam bab DisunnahkahhnyaTahiyyatul Masjid dalam safar. Wallahu a’lam.

Tahiyyat Masjidil Haram itu apa?
Tidak ada sesuatu pun (keterangan hadits) yang mengeluarkan Masjidil Haram dari keumuman hadits yang terdahulu. Maka masjidil Haram tidak memiliki tahiyyah khusus, yang berbeda dengan keseluruhan masjid-masjid.
Benar, seluruh manusia, jika dia masuk (Masjidil Haram) dalam keadaan berihram, maka perkara pertama yang dia lakukan adalah thawaf, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dalam haji beliau.
Sementara hadits yang masyhur (terkenal, dan menyebar) melalui lisan-lisan, yaitu:
تَحِيَّةُ الْبَيْتِ الطَّوَافُ

“Tahiyatnya baitullah adalah thawaf.” Tidak ada asal-usulnya. [8]

Jika Masuk Masjid, Sementara Iqamat Sudah Dikumandangkan
Jika telah masuk masjid, sementara shalat sudah diiqamati, maka wajib atasnya untuk masuk ke dalam shalat yang telah diiqamati. Dan gugur darinya shalat dua rakaat tahiyyatul masjid.
Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah , dari Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, beliau bersabda,
«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ»

“Jika shalat sudah diiqamahi, maka tidak ada shalat melainkan shalat fardhu (yang wajib).” [9]
Yang menjadi penguat adalah sabda beliau, ‘maka tidak ada shalat.’
Kemudian sisi pendalilannya adalah bahwa beliau menafikan disyariatkannya shalat apapun jika shalat (fardhu) sudah diiqamati.

Jika Masuk Masjid Sementara Imam Sedang Berkhutbah Jum’at
Jika seorang muslim masuk masjid, sementara imam sedang berkhutbah Jum’at, maka dia tidak duduk hingga shalat dua rakaat tahiyyatul masjid, dan dia pun (hendaknya) meringankan kedua (rakaat tersebut).
Dalilnya adalah sebagai berikut:
Dari Jabir bin ‘Abdillah , dia berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ  يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: «يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا» ثُمَّ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا»

“Sulaik al-Ghathafaniy datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- tengah berkhutbah, lalu diapun duduk. Maka Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda kepadanya, ‘Wahai Sulaik, berdirilah, lalu ruku’lah (shalatlah) dua rakaat, dan ringankanlah keduanya.’ Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sementara imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia ruku’ (shalat) dua rakaat, dan hendaknya dia meringankan keduanya.” [10]

Datang Masuk Masjid Sementara Tengah Dikumandangkan Adzan
Dalam hal ini ada dua keadaan;
– Adzan shalat lima waktu; maka hendaknya mendengar dan menjawab adzan, kemudian shalat, agar mendapatkan dua kebaikan sekaligus, yaitu menjawab adzan dan shalat tahiyyatul masjid.
– Adzan Jum’at saat imam naik mimbar; maka yang dilakukan adalah segera shalat dua rakaat, tanpa menunggu dengan menjawab adzan. Berdasarkan hadits Jabir di atas. Kalau salah satu rukun shalat Jum’at yaitu mendengar khutbah bisa dikalahkan oleh tahiyyatul masjid, maka apalagi menjawab adzan yang hukumnya sunnah. Ditambah lagi bahwa jika menunggu sambil menjawab adzan, bisa mengakibatkan tertinggalnya seseorang dari mendengarkan khutbah. Maka yang rukun, yaitu mendengar khutbah, tidak bisa dikalahkan oleh yang sunnah, yaitu menjawab adzan. Wallahu a’lam.

Shalat Apapun Yang Dilakukan Sebelum Duduk, Dihukumi Tahiyyatul Masjid.
Yang dimaksud dengan tahiyatul masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk di dalam masjid. Karenanya maksud ini sudah tercapai dengan shalat apa saja yang dikerjakan sebelum duduk. Karenanya, shalat sunnah wudhu, shalat sunnah rawatib, bahkan shalat wajib, semuanya merupakan tahiyatul masjid jika dikerjakan sebelum duduk. Wallahu a’lam.
Imam Nawawi  berkata, “Dan tahiyyatul masjid itu dua rakaat, berdasarkan hadits tersebut, maka jika dia shalat lebih dari dua rakaat dengan sekali salam, maka boleh (mencukupi), dan keseluruhannya adalah tahiyyah, karena mencakup dua rakaat.” (al-Majmu’, IV/52)

Duduk Sebelum Tahiyyatul Masjid
– Sengaja tidak tahiyatul masjid, maka tidak disyariatkan berdiri kembali guna melakukan tahiyyatul masjid.
– Lupa atau belum tahu ada shalat tahiyyatul masjid, maka disyariatkan baginya untuk bangun kembali, dan shalat tahiyyatul masjid berdasarkan hadits Sulaik di atas. Wallahu a’lam. (AR) [*]
Maraji’:
Bughyatul Mutathowwi’ fi Shalatit Tathawwu’, DR. Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul
Shalatut Tathowwu’ fii Dhou’il Kitaabi was Sunnah, DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy
As-Syarhul Mumti’ ‘alaa Zadil Mustaqni’, as-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam Nawawi

Penulis : Ust. Muhammad Syahri, dimuat di Majalah al Umm Edisi 3 Th I

Edisi 03 Th. I

Edisi 03 Th. I

Be the first to comment on "Shalat Tahiyyatul Masjid"

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*